Berburu merupakan kebiasaan kaum bangsawan yang sudah mentradisi pada setiap negeri, pada saatu waktu seorang pangeran dari salah satu negeri yang cukup makmur hendak mengadakan perjalanan untuk melakukkan perburuan. Dikumpulkannylah beberapa prajurit untuk mengawal dan seorang penasehat pribadi yang setia pun ikutserta dalam perjalanan itu.
Esok harinya, perjalanan pun dimulai. Selepas dari gerbang istana kerajaan, rombongan harus melakukan perjalanan melalui pemukiman penduduk yang luas sehingga cukup banyak memakan waktu. Setelah tiba di ujung perkambungan barulah rombongan mulai memasuki hutan dan masuk kedalam dengan harapan akan menemukan binatang buruan. Perjalanan sudah sekian jauh memasuki hutan belantara namun belum ada satupun binatang buruan yang mereka jumpai.
Tiba-tiba terdengan suara kuda meringkik keras disertai jeritan Sang Pangeran. Seketika rombongan terhenti, Penasehat pribadi pangeran segera memeriksa apa yang terjadi. Ternyata kuda yang ditunggangi pangeran tergelincir dan terperosok ke dalam lubang. Pangeran terjaduh dan menyebabkan salah satu jari kakinya patah sehingga membuat dia cacat.
Akibat kejadian itu merekapun bergegas untuk kembali ke istana. Sepanjang perjalanan pulang sang pangeran menahan perih karena salah satu jari kakinya patah, ia mengeluh mengadu kesakitan pada penasehatnya. Sang penasehat dengan tenang menyabarkan hati pangeran, “sabarlah paduka, anda harus bersyukur karena hanya jari kaki tuan saja yang patah”. Mendengar itu murkalah sang pangeran, dan berkata “hai penasehat, nanti kalau kita sudah sampai di istana, itu pertana pengambidanmu sudah berakhir. Kamu saya pecat! Mengapa jari kaki saya patah kau suruh aku bersyukur? Dengan nada rendah penasehat menjawab, “Baiklah, hamba terima, namun sekali lagi saya sarankan agar pangeran bersyukur”.
Waktu sudah lama berlalu, dan sudah lama pula sang pangeran tidak melakukan perburuan sehingga membuatnya rindu. Maka berangkatlah pangeran untuk melakukan perburuan, tetapi kali ini pangeran tidak membawa rombongan, ia hanya didampingi penasehat pribadinya yang baru. Saat dalam perburuan, alangkah terkejutnya pangeran ketika tiba-tiba dia dan penasehat sudah dikepung oleh sekelompok suku pedalaman yang liar dan bringas yang akan menyerang dan merampas siapa saja yang ditemuinya di hutan. Pertempuran pun tak bisa dihindari dan sang pangeran serta penasehat berhasil ditawan. Suku pedalaman segera melakukan sesembahan karena telah berhasil mendapat tawanan manusia.
Maka dimulailah acara ritual sesembahan. “Siapa pangeran di antara kalian berdua?” tanya kepala suku. Dengan tegas penasehat pribadi menjawab, “Dia Pangeran”, sambil menunjuk ke arah pangeran. “Baik” ujar kepala suku, “Bawa dia ke meja persembahan! “Maka mulailah pangeran diikat di atas meja sesembahan. Tiba-tiba kepala suku kaget, karena ternyata terdapat cacat di bagian jari kaki pangeran. “Dia tidak sempurna ! Dia cacat!” teriak kepala suku. “Engkau telah berbohong”, sambil menunjuk ke arah penasehat. “Tangkap dan ikat dia dan usir orang cacat ini!”.
Inilah hikmah mengapa penasehat yang dulu menyarankan agar pangeran bersyukur. Sang pangeran pun merasa bersalah hingga ia bermaksud meminta ma’af dan mencari penasehatnya dulu agar kembali mengabdi di istana.
Dalam menghadapi berbagai hal yang menimpa kita baik suka maupun duka, kita harus pandai mengambil hikmah dan senantiasa bersyukur.