Alkisah, seorang ayah yang tua renta pergi ke kota bersama anaknya yang masih remaja. Mereka berjalan beriringan sambil menuntun seekor keledai yang diikat lehernya. Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan seseorang yang berkata. “Apa yang kalian lakukan? Bukankah keledai itu binatang tunggangan?”.
Keduanya saling menatap dan membenarkan apa yang dikatakan orang itu. Mereka pun sepakat untuk menunggangi keledai itu. Maka dipersilahkan sang ayah untuk menaiki keledai. Sementara sang anak berjalan disamping sambil menuntun keledainya. Ketika asyik berjalan mereka bertemu kembali dengan seseorang yang berkata. “apakah engkau tidak malu wahai orang tua ! engkau tidak mengalah sedikit pun pada anakmu yang jelas lebih muda darimu?”.
Merasa tertampar dengan perkataan tersebut, lantas sang ayah turun dan menyuruh sang anak naik dipunggung keledai. Mereka melanjutkan perjalanan hingga bersua kembali dengan seseorang serta berkata “Hai, apakah engkau tidak malu dikatanakan anak tak tahu adab? Mengapa kau biarkan ayahmu yang lebih tua berjalan kaki sementara kau enak-enakan di punggung keledai?”.
Dengan segera anak itu turun, ia tak mau disebut sebagai anak yang tak beradab. Sambil menatap sang ayah, anak itu berkata. “Aku bingung ayah. Apa yang harus kita lakukan?”. Ditanya seperti itu, sang ayah semakin bingung karena sejujurnya dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan, karena semuanya selalu salah dalam pandangan orang lain.
Setelah lama berfikir, keduanya sepakat untuk menggotong keledai itu bersama-sama. Sembari menahan beban keledai, mereka melanjutkan perjalanan yang tertunda.
Baru saja beberapa langkah berjalan, orang-orang disekita tampak melihat mereka dengan aneh. Satu diantaranya pun bertanya. “Apa yang kalian lakukan? Mengapa keledai itu kalian gotong? Bukankah ia untuk ditunggangi?”.
Mendengar pertanyaan itu, sang ayah dan anak bingung kembali. “Begini salah begitu salah, apa lagi yang harus kami lakukan?” lirih mereka dalam hati.
Cerita ini mengajarkan betapa pandangan orang tentang kita beragam. Alih-alih menerima pandangan mereka, kita sendiri yang akan terjebak dalam kebingungan. Di sinilah perlu adanya rasa tsiqatunnafsi atau kata anak muda disebut pede alias percaya diri.
Dalam bahasa Indonesia, percaya diri diartikan sebagai kekuatan keyakinan mental seseorang atas kemampuan dan mengkondisikan dirinya dengan percaya diri, kita merasa nyaman dengan diri sendiri. Meskipun kita tidak terlalu pandai atau tidak terlalu rajin ataupun tidak sehebat orang lain, sehingga kita tidak mudah terpengaruh orang lain.
Namun, bukan berarti percaya diri akan menolak masukan orang lain. Kita tetap menerimanya, tetapi tidak asal terima. Sejauh itu positif untuk kita, maka pendapat orang lain sah-sah saja dilakukan. Sebaliknya jika itu negatif, maka mengabaikan adalah jalan terbaik. Dengan begitu kita tidak akan terombang-ambing dalam kebingungan yang justru akan menghambat kemajuan kita.
Para ahli menilai bahwa percaya diri merupakan faktor utama yang mengahantarkan seseorang menuju keberhasilan. Sebab, orang yang percaya diri akan cenderung lebih berani mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan memanfaatkan kemampuannya secara optimal daripada orang yang rendah diri. Masih ingin jadi pribadi yang ‘rendah diri’? So, Pede aza lge!.